Saya ngga pernah berniat untuk ikut campur urusan kalian. Tapi jika satu-persatu, satu-persatu, satu-persatu kalian berbicara, tegakah saya menutup telinga?
Melihat kalian yang saling salah paham antara satu dengan yang dua, dua dengan yang satu, satu dengan yang satu dan yang satunya lagi, saya melihat bukti yang nyata bahwa perasaan manusia mudah berubah dengan sekejap, begitupula keputusan, tingkah laku, pola pikir, logika, kesepakatan, apalagi hati.
Satu persatu kalian ucapkan,
“Saya ngerasa bersalah.”
“Saya memang belum dewasa dan belum bisa menerima keadaan. Ternyata ikhlas itu susah.”
“Saya ngga ngerti. Apa yang harus saya lakukan?”
Pada beberapa hal, kalian mendapati saya terdiam ketika kalian menunggu tanggapan saya.
Diamnya saya adalah jawaban. Beberapa jawaban artinya, “Lihat? Kau sendiri sudah tau apa impianmu. Kau juga sudah tau apa yang bisa membuatmu tersenyum. Berbahagialah. Sesusah itukah sehingga kau tak bisa menggebrak meja dan berkata, “saya ingin bahagia!”?”
Beberapa diamnya saya yang lain artinya, “Sabodo teuing, urang. Suka-suka maneh lah. Saya ngga buka biro jodoh.”
Tapi diam juga masih punya beberapa arti lain.
Saya akan membantu apapun yang bisa saya lakukan. Tapi tidak termasuk menjadi musuh dalam selimut. 3 sisi dari sebuah segitiga sudahlah cukup membuat seorang pengamat gelagapan. Ujung-ujungnya hanya kalianlah yang sanggup menyelesaikan urusan kalian sendiri. Toh sisi keempat takkan bisa membangun segitiga. Ingat itu.